Ketika anak perempuanku, Rachel, berumur 6 tahun, kami pergi ke tempat penampungan hewan lokal, mencari kucing yang cocok. Kami menyukai kucing-kucing yang kami lihat di sana, tetapi kami terutama tertarik pada seekor induk kucing dan anak-anaknya. Semua anak kucing itu warnanya hitam pekat, kecuali yang seekor. Ia mempunyai ekor yang ujungnya berbercak putih, seperti satu cahaya terang di langit malam. Kami membawanya pulang dan menamainya Starry.
Starry benar-benar makhluk memikat. Rachel mengagumi sikapnya yang angkuh, dan ia semakin senang ketika tahu bahwa sikap angkuh itu ternyata hanya dipermukaan saja. Starry cuma bisa bertahan angkuh sebentar saja, kemudian ia akan segera melompat ke dalam pelukan Rachel untuk dibelai-belai dan disayang-sayang.
Dengan berlalunya waktu, Rachel dan Starry mempunyai rutinitas sendiri. Di malam hari, kalau kami menonton TV, Starry akan merangkak ke pangkuan Rachel dan duduk di situ sambil mengeong puas. Starry selalu menggosok-gosokkan wajahnya di sepanjang dagu Rachel, dan mengakhiri ekspresi sayangnya itu dengan sebuah gigitan lembut di hidung Rachel. Kadang-kadang aku merasa hal ini sangat tidak adil. Akulah yang mengurus kucing itu, emmberinya makan, membersihkannya, merawatnya, tetapi Starry jelas-jelas adalah kucing Rachel. Tapi lambat laun aku bisa merasa senang mengamati jalinan sayang di antara mereka.
Rachel kecilku semakin dewasa, masuk SMP, dan akhirnya SMA. Starry sudah berumur 10 tahun dan Rachel 16 tahun. Starry dan Rachel masih tetap dekat satu sama lain, walaupun Rachel semakin jarang melewatkan waktu di rumah. Starry menghabiskan sebagian besar harinya dengan duduk di balik jendela ruang makan, sambil memendang ke pekarangan belakang.
Aku senang melihat sosoknya kalau aku sedang lewat, bulu hitamnya yang mengkilat hampir-hampir tampak berkilauan dalam cahaya matahari yang begitu disukainya, sementara bercak putih di ujung ekornya tampak cerah berbaur dengan sosok hitamnya yang meringkuk.
Suatu pagi hari Minggu, di Bulan November, Starry keluar dari pintu sebelum kami sempat menghentikannya. Ketika teman Rachel datang senja itu untuk belajar bersama, Rachel bertanya dengan cemas, "Dimana Starry?"
Ketika kami mengatakan bahwa kami tidak tahu, ia mengajak kami keluar rumah bersamanya. Di jalanan tergeletak seekor kucing hitam. Kucing itu Starry. Tubuhnya masih hangat dan tampaknya ia tidak terluka. Kami tidak melihat setetes darahpun, juga tidak ada luka. Saat itu sudah hampir malam, tapi dokter hewan kami bersedia menemui kami setelah mendapat telepon bernada panik. Rachel bingung sekali, tetapi ia berusaha menahan diri. Aku dan Suamiku, Burt, minta ia tetap di rumah sementara kami membawa Starry ke tempat dokter hewan.
Aku dan Burt mengangkat Starry dengan hati-hati dan cepat-cepat membawanya ke tempat praktek dokter hewan. Sang dokter memeriksanya sejenak, lalu menatap kami dan berkata, "Maaf dia sudah mati."
Ketika kami pulang, dari ekspresi wajah kami tahulah Rachel bahwa Starry sudah mati. Ia membalikkan tubuh tanpa berkata apa-apa dan masuk ke kamarnya.
Tahun itu merupakan tahun berat bagiku. Ayahku belum lama meninggal, dan aku belum bisa sepenuhnya menerima kehilangan ini. Aku dan Rachel sendiri tengah mengalami krisis dalam hubungan kami, seperti yang umum terjadi diantara ibu dan anak perempuannya yang sedang menginjak remaja. Tapi aku memberanikan diri untuk mengambil resiko, dan kuketuk pintu kamarnya. Ketika ia memintaku masuk, aku duduk di tempat tidurnya dan kami menangis bersama. Hal ini bisa mengurangi kesedihan yang kurasakan karena tak sanggup menghadapi kematian ayahku, dan bisa membuat aku dan Rachel lebih dekat sementara kami berbagi kesedihan atas kematian Starry.
Kehidupan terus berjalan. Hari Thanksgiving datang dan pergi. Aku dan Rachel suka keliru sama-sama mengira sweatshirt hitam yang disampirkan di kursi atau jauh di lantai sebagai kucing hitam kami yang mati itu. Tempat di depan jendela tampak kosong, tidak ada lagi sosok hangat yang memancarkan kehidupan, seperti yang biasa kulihat di situ. Berkali-kali perasaan kehilangan itu menyengat hati kami, sementara minggu demi minggu berlalu.
Ketika sedang berbelanja untuk natal, aku melihat sebuah hiasan pohon natal berbentuk "kucing malaikat". Seekor kucing hitam dengan sepasang sayap berwarna putih dan sebuah bola merah diantara kaki-kakinya. Aku ingin membelinya, tapi aku ragu. Apakah hiasan itu akan menjadi kenang-kenangan yang membahagiakan atas kucing yang kami sayangi atau justru sebaliknya.
Sampai di rumah, ujung ekor hiasan kucing yang panjang dan hitam itu kebri bercak putih, lalu kugantung hiasan itu di pohon Natal kami.
Sore itu, ketika Rachel pulang, ia langsung menghempaskan diri di sofa, memandangi pohon natal dari tempat duduknya setelah melewatkan hari yang panjang di sekolah dan ikut serta dalam kegiatan olahraga seusai sekolah. Aku sedang di dapur ketika sekonyong-konyong kudengar ia berseru, "Bu, kemarilah!'
Aku mendatanginya. Kulihat ia berdiri di depan pohon natal, memandangi hiasan kucing malaikat itu dengan mata berbinar-binar. "Oh, Ibu, itu Starry. Di mana ibu menemukan hiasan dengan ekor seperti ekor Starry?"
Tiba-tiba ia tampak seperti anak umur 6 tahun lagi. Kupeluk dia, dan ajaibnya ia tidak menolak. Kami berdiri berdampingan, memandangi pohon natal itu, menikmati perasaan sayang kami terhadap Starry dan terhadap satu sama lain.
Kucing kami yang memikat dan suka menjilati hidung itu, sudah tidak ada lagi, tapi sekarang Starry, malaikan Natal itu, akan menjadi bagian dari tradisi keluarga kami hingga bertahun-tahun mendatang.
Kadang-kadang kita bisa menciptakan keajaiban-keajaiban untuk diri kita sendiri
oleh : Pamela S. Zurer
dari buku : Chicken Soup for the Cat & Dog Lover's Soul