Badak Sumatera merupakan salah satu mamalia dilindungi, nama ilmiah badak Sumatera adalah Dicerorhinus Sumatrensis, berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari suku kata; Di berarti dua, Cero berarti cula dan rhinos berarti hidung, sedangkan Sumatrensis merujuk pada Pulau Sumatera (akhiran ensis dalam bahasa Latin menunjuk pada wilayah atau daerah).
Badak Sumatera dapat dijumpai mulai dari kaki pegunungan Himalaya di hutan dan India Timur, menyebar ke seluruh Myanmar, Thailand, dan Semenanjung Malaysia, dan di pulau Sumatera serta Kalimantan. Pada umumnya jenis ini dapat hidup dengan lebih baik di habitat alamnya dibandingkan badak Jawa. Hal ini sebagian mungkin karena satwa ini lebih banyak menghuni pegunungan dan hutan di dataran tinggi dimana tidak banyak gangguan pembangunan dan pembalakan. Sebaliknya dengan badak Jawa yang merupakan jenis yang tinggal di daerah pantai dan lembah sungai (SKBI, 1993:57).
Populasi Badak Sumatera baik di Indonesia maupun di seluruh dunia sangat terancam punah. Populasi yang ada saaat ini sangat kecil, tersebar dan sebagian besar terancam oleh perburuan liar dan lenyapnya habitat. Sungguhpun seandainya tidak terjadi kehilangan jumlah lebih lanjut, populasi yang ada sekarang ini sangat kecil sehingga sangat peka terhadap bencana alam, kelemahan genetik dan demografik, sebagaimana umumnya terjadi pada populasi yang kecil. Berdasarkan data dari International Rhino Foundation pada tahun 2005 diperkirakan populasi badak Sumatera saat ini hanya sekitar 300 (tiga ratus) ekor yang tersebar di hutan-hutan Sumatera, penyebarannya terdapat di daerah Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat dan hutan di Riau (Dedi Candra, 2005: 6-7. “ Badak Sumatera (Dicerorhinus Sumatrensis),” Warta Konservasi Taman Nasional Way Kambas. Edisi Kedua).
Keberadaan badak Sumatera terancam punah akibat perburuan sejak tahun 1992. Perburuan yang terjadi sering memutus mata rantai perkembangan satwa langka yang sejak tahun 2001 masuk dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna/CITES (Konvensi perdagangan internasional flora dan fauna langka) (Siaran Pers Dephut No: S.374/II/PIK-1/2005).
Faktor penyebab menurunnya populasi badak Sumatera, selain karena ancaman perburuan liar maupun adanya perambahan dan konversi hutan antara lain, juga disebabkan sulitnya satwa ini untuk berkembangbiak di habitatnya yang dipengaruhi oleh sifat dan karakteristik satwa tersebut.
Badak Sumatera termasuk satwa liar yang dilindungi undang-undang, sebagaimana tertuang dalam Lampiran PP No. 7 Tahun 1999, dan ada kententuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 bahwa:
Badak Sumatera dapat dijumpai mulai dari kaki pegunungan Himalaya di hutan dan India Timur, menyebar ke seluruh Myanmar, Thailand, dan Semenanjung Malaysia, dan di pulau Sumatera serta Kalimantan. Pada umumnya jenis ini dapat hidup dengan lebih baik di habitat alamnya dibandingkan badak Jawa. Hal ini sebagian mungkin karena satwa ini lebih banyak menghuni pegunungan dan hutan di dataran tinggi dimana tidak banyak gangguan pembangunan dan pembalakan. Sebaliknya dengan badak Jawa yang merupakan jenis yang tinggal di daerah pantai dan lembah sungai (SKBI, 1993:57).
Populasi Badak Sumatera baik di Indonesia maupun di seluruh dunia sangat terancam punah. Populasi yang ada saaat ini sangat kecil, tersebar dan sebagian besar terancam oleh perburuan liar dan lenyapnya habitat. Sungguhpun seandainya tidak terjadi kehilangan jumlah lebih lanjut, populasi yang ada sekarang ini sangat kecil sehingga sangat peka terhadap bencana alam, kelemahan genetik dan demografik, sebagaimana umumnya terjadi pada populasi yang kecil. Berdasarkan data dari International Rhino Foundation pada tahun 2005 diperkirakan populasi badak Sumatera saat ini hanya sekitar 300 (tiga ratus) ekor yang tersebar di hutan-hutan Sumatera, penyebarannya terdapat di daerah Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat dan hutan di Riau (Dedi Candra, 2005: 6-7. “ Badak Sumatera (Dicerorhinus Sumatrensis),” Warta Konservasi Taman Nasional Way Kambas. Edisi Kedua).
Keberadaan badak Sumatera terancam punah akibat perburuan sejak tahun 1992. Perburuan yang terjadi sering memutus mata rantai perkembangan satwa langka yang sejak tahun 2001 masuk dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna/CITES (Konvensi perdagangan internasional flora dan fauna langka) (Siaran Pers Dephut No: S.374/II/PIK-1/2005).
Faktor penyebab menurunnya populasi badak Sumatera, selain karena ancaman perburuan liar maupun adanya perambahan dan konversi hutan antara lain, juga disebabkan sulitnya satwa ini untuk berkembangbiak di habitatnya yang dipengaruhi oleh sifat dan karakteristik satwa tersebut.
Karateristik badak Sumatera antara lain, adalah sebagai berikut:
- menurut Taksonomi, badak Sumatera tergolong dalam suku Rhinocerotidae bangsa perissodactyla (berkuku tiga), kekerabatan terdekat dengan suku Tapiridae (tapir) dan suku Equidae (kuda), merupakan mamalia normatif sejati;
- tinggi badannya antara 120 cm – 135 cm, panjangnya antara 240 cm – 270 cm dengan berat tidak lebih dari 900 kg;
- lapisan kulit tidak terlalu banyak, hanya dua lipatan besar yang menonjol. Lipatan yang pertama melingkari paha di antara kaki depan dan lipatan yang kedua di atas perut bagian samping serta terdapat beberapa lipatan kecil di daerah leher;
- warna kulit umumnya coklat tua kemerahan, tetapi penampilan akan berubah tergantung dari air atau lumpur tempat berkubang;
- tubuhnya ditumbuhi rambut (eksotik) walaupun rambut yang lebat hanya tumbuh di ujung telinga. Inilah yang paling membedakan badak Sumatera dengan badak lainnya;
- memiliki 2 (dua) cula, cula belakang lebih pendek dari cula depan bahkan kadang hanya berupa bongkol kecil. Cula badak jantan lebih panjang dibandingkan badak betina; hidup soliter (menyendiri) di dalam hutan yang luas kecuali pada musim kawin;
- sangat suka berkubang; suka berjalan jauh, sangat sensitif dengan daya penciuman dan pendengaran yang sangat baik dan merupakan satwa nocturnal (aktif di malam hari);
- perkembangbiakan atau reproduksinya sangat lambat, awal kawin umur 6-7tahun, bunting 15-18 bulan, mengasuh anak selama 2 (dua) tahun, setiap lahir hanya satu ekor;
- bagian tumbuhan yang biasa dimakan adalah pucuk daun, ranting, batang, kulit, akar, bunga dan buah dengan kesukaan dominan tingkat sapling seperti semak dan pohon-pohonan. Adapun cara makan Badak Sumatera adalah dengan memangkas, menarik, merobohkan atau mematahkan;
- keberadaan badak Sumatera dapat dideteksi dari jejak khas yang ditinggalkannya, potongan bekas makan, tanda putaran bekas semak (twisting) dan urinasi bekas demarkasi atau kubangannya yang jelas berbeda dari satwa lainnya (terdapat bekas cula di dinding kubangan),
Badak Sumatera termasuk satwa liar yang dilindungi undang-undang, sebagaimana tertuang dalam Lampiran PP No. 7 Tahun 1999, dan ada kententuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 bahwa:
- Barangsiapa dengan Sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; (Pasal 21 ayat (2) huruf a), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));
- Barang Siapa Dengan Sengaja menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati (Pasal 21 ayat (2) huruf b), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));
- Dengan Sengaja memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; (Pasal 21 ayat (2) huruf d), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));